HUT Gerakan Spirit Pancasila dan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2007


”MEMAKNAI PANCASILA DALAM KONTEKS ZAMAN”
REFLEKSI PERINGATAN HARI LAHIR PANCASILA

JAKARTA, 1 JUNI 2007


Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu ’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh


Selamat siang,

Salam Damai Penuh Kasih. Merdeka!!!


Yang saya hormati, para sesepuh yang hadir bersama kita;
Yang mulia korps diplomatik negara-negara sahabat;
Yang saya muliakan, para pejuang kemerdekaan, keluarga pahlawan nasional;
Yang saya hormati, para pimpinan organisasi politik dan kemasyarakatan, para pimpinan perguruan tinggi, para mahasiswa, pemuda, dan para artis/seniman,

Mengawali sambutan ini, saya mengajak kita semua untuk mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan perkenan-Nya, kita diberi kesehatan dan kesempatan untuk turut menghadiri acara ini. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan rahmat, berkah, kekuatan, keyakinan, dan petunjuk bagi bangsa Indonesia dalam mengisi cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Hadirin yang saya muliakan,


Hari ini, 1 Juni 2007 kita hadir untuk bersama-sama memperingati hari lahir Pancasila ke-62, bersamaan dengan itu pula kami memperingati hari ulang tahun yang pertama Gerakan Spirit Pancasila. Melalui peringatan ini, kita berharap dapat menggali lebih dalam makna-makna yuridis, filosofis, dan terutama sekali makna ideologisnya. Hari ini, kita berkumpul sebagai bentuk penerimaan kita, komitmen kita, kesadaran kita akan arti penting Pancasila. Setiap tahun, tanggal 1 Juni di mana-mana rakyat Indonesia merayakannya. Ini merupakan bukti betapa Pancasila senantiasa dijadikan tumpuan harapan rakyat mengatasi berbagai persoalan mereka. Pancasila itu senantiasa menyertai semangat mereka, karena Pancasila bukan barang asing tetapi kristalisasi nilai-nilai tradisi masyarakat nusantara sejak dulu kala.


Pancasila, sekali lagi, adalah kristalisasi inti peradaban nusantara, rumusan filosofis-ideologis yang bertolak dari kesadaran sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk senantiasa menyegarkan ingatan, memperkuat keyakinan, mempertajam cara pandang, serta membangun jatidiri dan watak kita sebagai bangsa yang pancasilais, baik sebagai nilai-nilai hidup keseharian, maupun sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Kita patut pula mensyukuri, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhana wata’ala, telah berkenan menyertakan rahmat-Nya sebagai bagian tak terpisahkan dari hakekat kemerdekaan Indonesia. Sebuah tonggak sejarah baru yang membebaskan kita dari belenggu penjajahan. Kita haruslah dapat menerima Pancasila sebagai wujud rahmat Tuhan itu, yang telah mempersatukan keanekaragaman bangsa kita, ukhuwah wathaniyah – kesatuan bangsa. Pancasila membuktikan “BHINNEKA TUNGGAL IKA” bukan slogan kosong semata. Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Negeri yang indah dan ramah, yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.

Saudara-saudara yang saya hormati,


Kita sekarang mewarisi zaman di mana Pancasila sudah disepakati sebagai dasar negara. Syukur Alhamdulillah, bangsa ini sudah menerima Pancasila sebagai bagian tak terpisahkan dari hakekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, di berbagai kalangan, Pancasila senantiasa dikaji dan diinterpretasi ulang agar sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk kecintaan dan penghormatan atas rahmat Tuhan itu, diwujudkan rakyat melalui berbagai bentuk, gerak, bunyi, dan warna, ketika Pancasila bersentuhan dengan nurani bangsa Indonesia yang berbudaya tinggi, yang beragam dan kreatif. Banyak hal yang mengharu-birukan hati kita berkenaan dengan penghormatan bangsa ini pada Pancasila.


Namun, potret perjalanan Pancasila juga menampakkan sisi-sisi sebaliknya. Kita mengetahui bagaimana Pancasila dipertanyakan, dipersoalkan, dipertentangkan, bahkan diselewengkan. Lebih dari itu, Pancasila juga telah dimaknai secara berlebihan, sehingga ada banyak mitos-mitos yang dikaitkan dengan Pancasila. Kita tidak bisa menghindar dari kecenderungan munculnya berbagai bentuk penafsiran dan penentangan. Antara dukungan dan penolakan adalah dua hal yang selalu menyertai perjalanan sejarah Pancasila. Singkat kata, Pancasila terdinamisasi oleh pasang-surut dan pasang-naik sikap kita.


Hari ini, setelah sembilan tahun reformasi, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Bahkan, untuk dan atas nama reformasi itu telah dilakukan empat kali amandemen konstitusi, yakni perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen itu telah berakibat luas pada sistem ketatanegaraan kita. Banyak kalangan menganggap prinsip-prinsip liberalisme cenderung mewarnai proses perubahan tersebut. Proses amandemen ini haruslah kita cermati sungguh-sungguh, karena dalam proses itu terbuka kemungkinan masuknya tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kewajiban kita semua untuk mengevaluasi proses reformasi ini, sehingga tidak menyimpang dari cita-cita para pendahulu kita.


Ini adalah era penting bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali kesadaran historis, kesadaran kolektif, dan kesadaran akan masa depannya. Era demokrasi memungkinkan Pancasila dievaluasi secara kritis, direvitalisasi, bahkan direinterpretasi. Kita semua menyadari bahwa Pancasila tidak sekadar legitimasi konstitusional sebagai syarat sah berdirinya sebuah negara, tetapi lebih dari itu, Pancasila haruslah benar-benar menjadi pandangan hidup di kalangan masyarakat, menjadi praksis sosial yang merekatkan seluruh keragaman yang kita miliki sejak beribu-ribu tahun yang lalu.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,


Pada hari ini, tanggal 1 Juni 2007, kami mencoba menapaktilasi ajaran Pancasila. Bertolak dari kenyataan bahwa Pancasila adalah milik seluruh bangsa, maka Pancasila haruslah ditempatkan secara proporsional, terutama menyangkut spirit dan amanat para pendahulu kita. Kita akui bersama bahwa Pancasila terbuka bagi siapapun untuk memaknai, memahami, dan mengamalkannya. Namun, dengan keterbukaan itu, kita tetap harus memaknai Pancasila dalam konteks sejarah revolusi kemerdekaan. Pemaknaan itu adalah pertama, nilai-nilai tersebut memiliki makna khas ketika kelimanya dirangkum menjadi satu kesatuan nilai. Artinya, makna Pancasila itu sendiri telah mengandung spirit ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kedua, cara pandang dan pemahaman kita pada ajaran Pancasila harus selaras dengan pemikiran Bung Karno. Artinya, Pancasila tidak semata-mata dipahami sebagai seremoni atau sekadar hafalan, tetapi merupakan upaya kita memahami proses penggalian Bung Karno terhadap Pancasila, sekaligus sebagai acuan praksis perjuangan. Sehingga, kita dapat memaknai lebih dalam kekuatan dan kesadaran dari seluruh kiprah perjuangan Bung Karno, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.


Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan: “....philosofische grondslag dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, fikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.” Kalimat ini yang menjelaskan bahwa Pancasila juga harus terkait dengan hasrat, elan, spirit, semangat, dan keyakinan.


Dengan demikian, kami ingin mengatakan bahwa makna Pancasila tidak lain adalah Pancasila dalam konteks pemikiran dan keyakinan seorang Sukarno. Pancasila selain sebagai metode berfikir dan berkeyakinan, juga bersifat ideologis. Dengan kata lain, setidaknya Bung Karno telah mewariskan kepada kita sebuah kerangka berpikir idelogis dalam konteks Pancasila sebagaimana yang telah dibuktikannya, bukan saja kepada bangsa Indonesia, tetapi juga pada dunia.

Saudara-saudara yang saya hormati,


Bung Karno adalah bapak bangsa, seorang dari the founding fathers kita. Kita tidak hendak mengkultuskan dirinya. Namun, kita ingin memahami bagaimana Pancasila itu telah menginspirasi keyakinannya, perjuangannya, dan pengabdiannya bagi Indonesia Raya. Di dalam diri seorang Sukarno, Pancasila benar-benar telah mengejawantah sebagai sebuah ideologi perjuangan. Pancasila telah menjadikannya seorang yang berpikir dan bertindak visioner sekaligus revolusioner. Di tangannya, Pancasila adalah ideologi revolusioner, ideologi yang tidak sudi terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan. Sebuah ideologi perlawanan terhadap segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan.


Satu hal yang perlu kita garisbawahi, Pancasila telah berproses sepanjang peradaban nusantara dan menjadi satu sistem filsafat hidup sebagaimana yang dirumuskan Bung karno. Pancasila adalah penamaan istilah yang diberikan Bung Karno atas nilai-nilai fundamental tersebut. Nilai-nilai yang selama ini menjadi penyangga struktur peradaban nusantara yang spektakuler dan penuh kemegahan. Era kolonialisme telah menjadi satu-satunya alasan bagi terbangunnya kesadaran akan pentingnya panyatuan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat nusantara selama ratusan bahkan ribuan tahun. Sebuah prestasi kesejarahan yang telah mendorong Bung Karno menyatakan Pancasila sebagai hogere opptrekking, satu tingkat di atas declaration of independence maupun manifesto communism.


Sebagai ideologi yang berwatak revolusioner, Pancasila harus dipahami melalui pendekatan pemikiran yang juga revolusioner. Hanya orang-orang yang berwatak revolusioner yang dapat memahami Pancasila dalam kerangka ideologi sebagaimana Bung Karno telah mengejawantahkannya dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Setidaknya, watak yang progresif-revolusioner. Kita tidak hendak beretorika tentang kehebatan Pancasila itu, tetapi sejarah pergerakan dan perjuangan yang bermuara pada proklamasi 17 Agustus 1945 telah menjadi saksi dan bukti tak terbantahkan betapa Pancasila itu menjadi unsur pemersatu seluruh potensi bangsa.


Kita pun harus mengakui betapa Pancasila telah menginspirasi Bung Karno dalam upayanya menggalang kekuatan dunia baru dari bangsa-bangsa tertindas, menjadi sebuah kekuatan poros dunia untuk mengimbangi hegemoni Blok Timur dan Barat. Keberanian yang telah memungkinkan Sukarno berkata lantang; “Go to hell with your aids” dan keluar dari anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Spirit Pancasila juga telah membuktikan kepada dunia, tentang gagasan besar Sukarno melalui Konferensi Asia Afrika Tahun 1955 di Bandung yang menghasilkan kesepakatan Dasa Sila Bandung yang monumental.


Dengan kata lain, rangkaian perjalanan perjuangan Soekarno telah melakukan dua tahapan besar, yaitu mempersatukan berbagai keragaman ideologi, ras, suku, dan agama dalam usaha memerdekakan bangsa, dan melakukan konsolidasi dengan bangsa tertindas untuk membangun tata dunia baru, The New Emerging Forces. Dua langkah besar inilah yang membuktikan Pancasila sebagai ideologi perlawanan dan sekaligus pembebasan atas berbagai bentuk penindasan.

Saudara-saudara sekalian,


Kita perlu melakukan refleksi atas apa yang sudah kita lakukan dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam kaitan itu, enam puluh dua tahun kita memperingati Pancasila. Pertanyaannya, apakah Pancasila masih mempengaruhi peri-kehidupan kita?


Sejak masa-masa kemerdekaan, bangsa kita sering dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat mendasar. Permufakatan di sidang BPUPKI memang berhasil menetapkan dasar negara kita, yakni Pancasila. Kita mengetahui Pancasila memang sangat mewarnai prinsip-prinsip kebangsaan dan kenegaraan kita. Misalnya, sila-sila Pancasila adalah bagian tak terpisahkan dari mukaddimah (preambule), substansi batang tubuh (UUD 1945) maupun konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, dalam perjalanannya Pancasila selalu mendapat rongrongan.


Sebagai dasar negara, Pancasila memang sudah final. Pancasila memberi kita aspek penerimaan atas NKRI sebagai NEGARA yang BERKETUHANAN, kendati bukan NEGARA AGAMA. Tidak ada masalah antara NEGARA dengan AGAMA, karena Pancasila justru menjamin keberadaan dan kelangsungan agama-agama. Namun demikian, konsepsi negara berketuhanan sebagaimana sila pertama, tidak otomatis negara dapat memasuki wilayah-wilayah agama, karena agama sebagai tata-cara manusia bertuhan bersifat sangat eksklusif dan personal. Negara berurusan dengan bangsa Indonesia yang bertuhan itu. Namun, di dalam bangsa besar itu terdapat umat beragama, yang mengejawantahkan kebertuhanannya berdasarkan sistem agama-agama. Sebuah pemahaman yang memberi kebebasan melaksanakan agama dan kepercayaannya.


Pro-kontra terhadap Pancasila adalah sebuah keniscayaan, mengingat fungsi dan peran simboliknya sangat strategis dan mendasar. Adalah wajar, ketika Pancasila sebagai dasar negara juga dipertentangkan dengan agama sebagai keyakinan hidup. Persoalan inilah yang menjadi polemik, terutama terkait dengan pemaknaan Pancasila sebagai asas, bahkan satu-satunya asas. Kita memahami bahwa penerapan Eka Prasetya Pancakarsa (P-4) adalah upaya Orde Baru untuk memperkuat posisi Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara, dalam konteks ideologi politik.

Hadirin yang saya muliakan,


Kita menyadari betapa berat persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita. Berbagai persoalan muncul silih berganti, seakan tiada henti-henti. Dalam konteks Ipolek-sosbud-hankam hampir semua aspek mengalami degradasi. Penyelesaian kasus per-kasus yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Lemahnya rasa persatuan dan kesatuan menjadi ancaman setiap saat yang dapat muncul. Mungkin kita bertanya, apa mungkin Pancasila menjadi solusi masalah bangsa. Bagaimana mungkin? Tapi kita harus sadari, bahwa momen daripada detik-detik proklamasi yang hanya sesaat itu telah mengubah segalanya, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, walaupun tidak disertai perubahan-perubahan fisik. Ini menyangkut sikap mental, menyangkut watak dan kepribadian, menyangkut nurani kita. Sebuah perubahan yang berbasis pada spirit kebangsaan daripada ketercukupan materi.


Kami berpendapat, bahwa yang terpenting dari semua persoalan bangsa kita adalah bagaimana kita secara bersama-sama, segenap warga bangsa, membangun satu visi dan misi kesejarahan kita, yakni di dalam satu arah dan tujuan yang satu. Arah dan tujuan dari kemerdekaan nasional kita. Sehingga kita terhindar dari benturan arah dan tujuan yang satu sama lainnya berseberangan. Bangsa ini terlalu heterogen untuk dibiarkan berada pada tujuannya masing-masing. Konflik kepentingan, ketegangan antar umat beragama, diskriminasi kesukuan, kedaerahan dan sebagainya harus kita akhiri. Seharusnya Pancasila digunakan untuk menjalin semangat kebersamaan, gotong-royong, rawe-rawe rantas malang-malang putung.


Kita memang perlu menarik garis reflektif kesejarahan kita, bukan untuk melakukan penghakiman, melainkan sebagai bentuk kesadaran bahwa sejarah adalah guru terbaik untuk tidak melakukan kekeliruan yang sama.


Persoalan kita ke depan, khususnya bagi generasi penerus, adalah bagaimana rakyat itu berdaulat untuk menentukan nasibnya. Oleh sebab itu, Pancasila juga harus memberi ruang bagi HAKEKAT PERJUANGAN BANGSA di samping MAKNA PEMBANGUNAN NASIONAL. Perjuangan dan pembangunan seharusnya berdampingan, karena di samping ada hal-hal yang memang harus dibangun tetapi ada juga yang harus kita jebol. Membangun dan menjebol adalah dua sisi mata uang bagi kita dalam mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Apa yang dibangun selama suatu masa tertentu ternyata harus dijebol sejalan dengan perkembangan zaman. Proses inilah yang seharusnya dikawal oleh pemahaman kita atas Pancasila itu. Dengan kata lain, PANCASILA seharusnya MEMBERI ARAH BAGI PERJUANGAN BANGSA DAN TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL.

Saudara-saudara yang saya hormati,


Sesuai dengan semangat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa kita terlahir sebagai bangsa pejuang. Semangat juang itu harus tetap ditumbuh-kembangkan agar kita tidak semata-mata tenggelam dalam elan pembangunan yang cenderung bersifat fisik belaka. Kita memang tidak dapat menolak pembangunan nasional itu, tetapi kita juga harus mampu menghilangkan bentuk ketidak-adilan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan. Adalah berbahaya apabila agenda pembangunan nasional kita tidak didasari oleh arah dan tujuan yang jelas, sehingga arah pembangunan nasional kita gampang ditunggangi oleh pihak-pihak luar. Kita tidak bisa menggunakan konsekuensi tuntutan jaman sebagai dalih untuk sekedar melakukan perubahan-perubahan yang tanpa arah dan tujuan.


Era reformasi memang memberi kita ruang untuk melakukan pengkajian ulang bagi arah dan tujuan kita sebagai bangsa. Istilah “cita-cita proklamasi” memang terlalu normatif untuk dapat secara konseptual dijadikan acuan pembangunan kita. Koreksi-koreksi yang dilakukan atas hasil-hasil dimasa lalu itu membuktikan bahwa seluruh harga yang kita bayar, ternyata tidak mendekatkan kita kepada tujuan-tujuan idealnya. Kita harus berani melakukan kritik pada diri kita sendiri, karena hampir seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara terancam dan terdegradasi. Kita melihat bagaimana konflik-konflik berdasar agama, kesukuan, kedaerahan, ideologi, ras dan sebagainya senantiasa menjadi laten. Ikatan sosial kita sudah sangat rapuh. Inilah gambaran atas situasi kebangsaan kita secara umum. Bayang-bayang disintegrasi bangsa tetap menghantui fenomena sosial yang berlangsung. Sementara itu, gejala disintegrasi sosial adalah cermin daripada derajat keadilan sosial sebagaimana sila kelima pada Pancasila kita.


Telah dikatakan tentang pentingnya arah dan tujuan kemerdekaan kita. Dimensi arah dan tujuan itu harus dimaknai sebagai perlunya kerangka pemahaman ideologis, karena Pancasila selain sebagai dasar negara juga harus difungsikan sebagai ideologi bangsa, terutama di dalam menetapkan arah dan tujuan dari persatuan kita. Adalah Bung Karno yang senantiasa mengingatkan kita agar tetap konsisten di dalam memegang amanat penderitaan rakyat. Bahwa penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh penindasan kolonialisme itu akan semakin diperparah lagi dengan apa yang disebut Neo-kolonialisme/Imperialisme (NEKOLIM). Untuk itulah, semangat kebangsaan kita, nasionalisme kita, harus menjadi spirit bagi dunia di dalam menghilangkan segala bentuk eksploitasi dan penindasan.

Saudara-saudara sekalian,


Kita patut bangga, bagaimana hubungan kita dengan negara-negara Asia-Afrika senantiasa diwarnai oleh spirit “Dasasila” Bandung. Sebab, Konferensi AA yang mengilhami kesepakatan Non Alighment Movement atau Gerakan Non-Blok akan tetap menjadi laten yang mengancam kepentingan NEKOLIM di muka bumi ini. Watak NEKOLIM yang eksploitatif itu bukan saja perlu diposisikan sebagai musuh bangsa, tetapi juga musuh bersama negeri-negeri tertindas. Musuh bagi bangsa-bangsa yang termiskinkan oleh praktek-praktek rente, praktek-praktek riba. Lebih dari itu, ekspansi neo kiolonialisme/imperialisme juga telah mengancam keseimbangan planet kita. Berbagai kerusakan lingkungan akibat dampak industrialisasi yang rakus dan tamak ditengarai menjadi penyebab terjadinya pemanasan global.

Saudara-saudara yang saya hormati,


Akhirnya, permasalahan bangsa yang semakin berat ini hanya mungkin diatasi apabila bangsa kita menyadari bahwa penyelesaian masalah-masalah global, regional, dan -pada akhirnya- nasional, sangat tergantung, bukan saja kepada kemauan politik kita, tetapi juga pada terbangunnya kesadaran internasional untuk bisa hidup berdampingan secara damai atau koeksistensi damai. Hal ini sejalan dengan ucapan Bung Karno bahwa nasionalisme itu tumbuh subur di taman sarinya internasionalisme. Indonesia harus pro-aktif menciptakan perdamaian dunia.

Tantangan kita semakin kompleks, kita harus peka terhadap aspek-aspek kedaulatan kita. Dalam kaitan itu, Gerakan Spirit Pancasila yang saya pimpin ini merupakan bentuk dedikasi dan partisipasi saya dalam turut berjuang mengatasi berbagai tantangan dan persoalan bangsa yang kian hari kian berat. Sebagai sebuah gerakan spirit, kami memang baru mampu merangkak dan kemudian akan melakukan langkah-langkah kecil sebelum mampu memberikan darma bakti bagi bangsa dan negara.

Salam Damai Penih Kasih. MERDEKA !!!

Wassalamu’alaikum

Warahmatullahi Wabarakatuh



Ketua Umum
Gerakan Spirit Pancasila



Guruh Sukarno Putra